0

Sokola Rimba

Pernah denger ga dua kata di atas?, kalau saya baruuu aja tau ---lebih tepatnya kemarin tanggal 6 januari 2010--- bahwa 2 kata di atas adalah sebuah judul buku yang di buat oleh seorang wanita yang bernama Saur Marlina Manurung atau biasa di panggil Butet Manurung, wanita yang menjadi pengajar anak-anak orang Rimba di belantara hutan Bukit Dua Belas yang terletak di Propinsi Jambi.

Ka’ Butet –hehe sok kenal banget yaa!!—bukanlah sosok baru untuk saya, saya terus menyimpan kenangan yang ga pernah saya lupa, duluuuu banget, waktu cita-cita menjadi guru masih menggantung di awan-awan hati saya, kalau ga salah ingat waktu saya masih SMA tahun pertama, saya pernah melihat iklan di tv, tepatnya iklan Koran Kompas, di sana ada visualisasi yang mengupas sedikit tentang Ka’ Butet yang sedang khusyu’ mengajar anak-anak rimba membaca, dengan papan tulis seadanya, dengan kapur yang warna-warni…itulah kenangan yang terus saya simpan. Setiap hari, iklan itu selalu saya tunggu, saya sangat tertarik dengan pribadi Ka’ Butet yang menembus batas, dan gara-gara kepincut dengan apa yang di lakukan Ka’ Butet, cita-cita saya yang ingin menjadi guru di sekolahan berubah sedikit dengan mau menjadi guru di desa-desa, atau di hutan pedalaman gituuu... dan taukah, cita-cita itu walaupun bertambah dengan cita-cita lain yang sejalan, tapi tetap bersemayam di hati saya sampai sekarang, suatu waktu saya mau jadi pengajar seperti Ka’ Butet... : )

Ini nih sekilas tentang Ka’ Butet dan bukunya yang berjudul Sokola Rimba yang merupakan Diary nya selama mengarungi dan menebar ilmu di kehidupan orang Rimba…

Orang rimba yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, sangat kovensional. Penampilan mereka boleh dibilang sedikit “erotis.” Sebab kaum pria orang rimba tidak berbaju, mereka hanya mengenakan cawat—sejenis celana. Terlepas dari semua itu, pria yang sudah berkeluarga harus tunduk pada istri.

Hal yang menarik dari orang rimba ialah loyalitas mereka pada adat. Bagi mereka adat juga berfungsi sebagai tameng dari kebrutalan dunia luar. Salah satu contoh, wanita yang belum menikah berjalan dengan laki-laki sangat dilarang. Tidak hanya itu saja, adat orang rimba juga melarang berteman dengan orang terang yang memasuki hutan, ditenggarai orang terang membawa penyakit. Tradisi lainnya, bila salah seorang anggota keluarga mereka meninggal dunia, mereka akan bepergian jauh, mengarungi hutan untuk mengusir kesedihan.

Semakin banyak anggota keluarga maupun kelompok mereka semakin jauh pula mereka mengarungi hutan. Maka jangan heran bila mereka memiliki kebiasaan nomaden. Uniknya lagi dalam kesehariannya anak-anak boleh membentak orangtua, jika dipaksa berkerja. Adat rimba menegaskan, bagi yang melanggar peraturan diwajibkan membayar denda. Denda yang mereka bayarkan bukanlah berupa uang, melainkan kain yang merupakan alat tukar (uang) orang rimba.

Perekonomian orang rimba bergantung pada hasil hutan yang sekarang sudah mulai berkurang. Mata pencaharian orang rimba mengandalkan getah karet, madu. Tradisi unik ketika orang rimba mengambil madu yang terdapat di pohon besar dengan ketinggian mencapai dua puluh meter lebih yaitu mereka membacakan mantra pengusir roh halus yang menjaga pohon tersebut sebelum memanjat. Bagi orang rimba, hutan merupakan rumah. Rumah yang memberikan mereka segalanya Sekarang, jarang sekali media yang mewartakan pertambahan areal hutan, justru sebaliknya.

Orang rimba sangat sulit menerima edukasi. Bukan mereka bodoh atau ber-IQ jongkok. Melainkan dalam kepercayaan mereka, pendidikan dilarang karena akan mengundang cemeti dari sang dewa. Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja kepercayaan orang rimba. Itulah yang menyebabkan sebagian orang rimba masih buta aksara.

Kondisi seperti inilah yang mengundang Ka’ Butet seorang Sarjana Antropologi dan Bahasa dan Satra Indonesia UNPAD sekaligus penulis buku ini kepincut mengarungi hutan Jambi. Ka’ Butet yang dulunya bergabung dengan WARSI (sebuah Organisasi yang bergerak di bidang konservasi hutan di Sumatera -http://www.warsi.or.id/-) mencoba untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat rimba. Perjuangan yang dihadapi Ka’ Butet amatlah berat. Kondisi hutan yang rapat sepi, bahaya mengintai setiap saat, baik itu dari binatang buas, orang rimba sendiri maupun pelaku illegal logging yang selalu mencurigai gerak gerik nya, membuatnya harus berinteraksi dengan orang rimba. Peraih Heroes of Asia Award, 2004 ini mencintai status sebagai seorang guru anak-anak orang rimba. Sebelumnya ia mengalami bermacam perlakuan yang benar-benar menguji dirinya dari orang rimba

Sokola Rimba merupakan model sekolah yang dirintis oleh Ka’ Butet dan kawan-kawan dengan tujuan membantu orang rimba dari ketertindasan. Dari catatan harian ka' Butet dapat diketahui, sangat sulit kiranya meyakinkan orang rimba tentang pendidikan. Ternyata orang rimba tak sebodoh dikira. Mereka memiliki daya tangkap dan ingat yang tidak jauh beda dibandingkan dengan anak orang terang. Anak-anak orang rimba yang belajar aksara terkadang mereka belajar di bawah tekanan adat. Akan tetapi, semangat yang tinggi membuat mereka semakin haus akan pendidikan. Sehingga mereka ingin terus belajar meskipun di bawah tekanan, namun itu bisa mereka tepis. Arti penting edukasi juga ditularkan pada sesama. Hingga saat ini Sokola Rimba telah melahirkan kader-kader guru yang berasal dari anak rimba untuk anak rimba sendirinya. Para kader ini sudah mampu membaca dan menulis, tidak sekadar itu saja mereka juga mengerti hukum.

Buku ini diangkat dari catatan harian Ka’ Butet selama menjadi guru di rimba. Sokola Rimba dibagi kedalam dua bagian dimana bab I pada bagian pertama buku ini sangat menarik untuk dibaca. Dimana penulis menceritakan perjalanan awalnya memasuki kawasan hutan yang dihuni oleh orang rimba yang belum tentu friendly padanya. Penulis sangat ekspresif menceritakan bagaimana ia meyakinkan orang rimba bahwa pendidikan sangat penting.

I wanted to have and read the book.. :>

0 menurut yang baca...:

Back to Top